supranatural suku asmat (disadur dari http://loita-kurrota-a.blog.ugm.ac.id/2011/11/09/sistem-kepercayaan-suku-asmat/)
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 KATA PENGANTAR
Pertama saya panjatkan syukur Alhamdulillah kepada Allah SWT yang telah
memberikan kelancaran dalam penuliusan makalah ini. Kedua saya ucapkan
terimakasih untuk Ibu tersayang yang telah memberi saran dalam pemilihan
judul makalah. Dan terakhir saya ucapkan terimakasih kepada Bp. DR.
Amir Ma’ruf M. HUM. yang telah memberikan kami kesempatan untuk belajar
lebih mendalam yaitu dengan penulisan makalah untuk matakuliah
Dasar-dasar Ilmu Budaya ini.
1.2 LATAR BELAKANG
Irian Jaya atau sekarang disebut dengan Papua adalah pulau terbesar
kedua di dunia setelah Greenland. Pulau ini terbagi atas 2 daerah
kekuasaan, yaitu belahan timur yang merupakan daerah kekuasaan
pemerintahan Papua Nugini sedangkan daerah seluas 260.000 kilometer
persegi yang berada di belahan barat, yaitu Papua yang termasuk daerah
wilayah pemerintahan Republik Indonesia. Di Papua ini terdiri dari
beberapa kabupaten dan suku-suku yang beraneka ragam. Suku Asmat adalah
salah satu suku yang ada di Papua.
Dalam hal kepercayaan orang Asmat yakin bahwa mereka adalah keturunan
dewa yang turun dari dunia gaib yang berada di seberang laut di belakang
ufuk, tempat matahari terbenam tiap hari. Menururt keyakinan orang
Asmat, dewa nenek-moyang itu dulu mendarat di bumi di suatu tempat yang
jauh di pegunungan. Dalam perjalanannya turun ke hilir sampai ia tiba di
tempat yang kini didiami oleh orang Asmat hilir, ia mengalami banyak
petualangan.
Dalam mitologi orang Asmat yang berdiam di Teluk Flaminggo misalnya,
dewa itu namanya Fumeripitsy. Ketika ia berjalan dari hulu sungau ke
arah laut, ia diserang oleh seekor buaya raksasa. Perahu lesung yang
ditumpanginya tenggelam. Dalam perkelahian sengit yang terjadi, ia dapat
membunuh si buaya, tetapi ia sendiri luka parah. Ia terbawa arus yang
mendamparkannya di tepi sungai Asewetsy, desa Syuru sekarang. Untung ada
seekor burung Flamingo yang merawatnya sampai ia sembuh kembali;
kemudian ia membangun rumah yew dan mengukir dua patug yang sangat indah
serta membuat sebuah genderang em, yang sangat kuat bunyinya. Setelah
ia selesai, ia mulai menari terus-menerus tanpa henti, dan kekuatan
sakti yang keluar dari gerakannya itu memberi hidup pada kedua patung
yang diukirnya. Tak lama kemudian mulailah patung-patung itu bergerak
dan menari, dan mereka kemudian menjadi pasangan manusia yang pertama,
yaitu nenek-moyang orang Asmat.
1.3 TUJUAN
Tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan karya ini:
• Untuk menambah wawasan tentang suku bangsa di Indonesia
• Untuk lebih mengenal suku Asmat beserta sistem kepercayaannya
• Untuk ikut menjaga dan melestarikan kebudayaan bangsa
1.4 RUANG LINGKUP
Penulis membatasi tulisan ini seputar:
• Karakteristik suku Asmat
• Unsur-unsur religi
• Sistem religi dan kepercayaan suku Asmat
1.5 METODE PENULISAN
Dalam penulisan karya ini dilakukan dengan cara:
• Membaca buku perpustakaan
• Mengumpulkan data dari internet
BAB II
KARAKTERISTIK SUKU ASMAT
2.1 PERADABAN SUKU ASMAT
Suku Asmat berada di antara Suku Mappi, Yohukimo dan Jayawijaya diantara
berbagai macam suku lainnya yang ada di Pulau Papua. Papua sendiri
adalah propinsi paling timur Indonesia yang menyimpan kekayaan alam dan
budaya. Dengan luas sekitar empat ratus dua puluh ribu kilometer
persegi, Papua menjadi pulau terbesar kedua di dunia setelah Greenland.
Selain luas, Papua juga berlembah, sebagian rawa- rawa dan hutan lebat.
Sebagaimana suku lainnya yang berada di wilayah ini, suku Asmat ada yang
tinggal di daerah pesisir pantai dengan jarak tempuh dari 100 km hingga
300 km, bahkan Suku Asmat yang berada di daerah pedalaman, dikelilingi
oleh hutan heterogen yang berisi tanaman rotan, kayu (gaharu) dan
umbi-umbian dengan waktu tempuh selama 1 hari 2 malam untuk mencapai
daerah pemukiman satu dengan yang lainnya. Sedangkan jarak antara
perkampungan dengan kecamatan sekitar 70 km. Dengan kondisi geografis
demikian, maka berjalan kaki merupakan satu-satunya cara untuk mencapai
daerah perkampungan satu dengan lainnya.
Secara umum, kondisi fisik para anggota masyarakat Suku Asmat,
berperawakan tegap, hidung mancung dengan warna kulit dan rambut hitam
serta kelopak matanya bulat. Disamping itu, Suku Asmat termasuk ke dalam
suku Polonesia, yang juga terdapat di New Zealand, Papua Nugini. Suku
Asmat yang berjumlah kurang lebih 65.000 jiwa dan mendiami daerah
rawa-rawa di bagian selatan propinsi Irian Jaya ini merupakan salah satu
suku asli Papua. Mereka hidup di desa-desa yang jumlahnya berkisar
antar 35 sampai 2000 jiwa.Suku Asmat adalah salah satu suku di Papua
yang memiliki kebudayaan mengukir dan memahat sejak dari masa nenek
moyangnya. Berawal dari cerita legenda Fumeripits, yaitu seorang yang
pandai mengukir dan memahat, yang kemudian merupakan pencipta cikal
bakal manusia suku Asmat. Patung kayu hasil kerajinan mereka diakui
dunia internasional sebagai hasil karya seni berkelas tinggi. Darah
seni ini mengalir dengan tanpa sengaja karena dalam kehidupan
sehari-hari mereka menggunakan peralatan yang berhubungan dengan kayu.
Kehidupan modern tidak mencapai wilayah ini kecuali beberapa tahun
terakhir. Sebagian besar wilayah ini masih berupa wilayah hutan lebat
yang belum dirambah manusia. Meski demikian nasib para seniman sejati
tak lepas dari perhatian dunia Internasional. Pada akhir tahun enam
puluhan, para pemahat suku Asmat menerima bantuan dari PBB demi upaya
mempertahankan kelestarian seni patung mereka. Di kota Agat anda bisa
mengunjungi museum yang menampilkan koleksi patung kayu dan hasil
kerajinan mereka.
Konon patung bis adalah bentuk patung yang paling sakral. namun kini
membuat patung bagi suku asmat tidak sekadar memenuhi panggilan tradisi.
sebab hasil ukiran itu juga mereka jual kepada orang asing di saat
pesta ukiran.mereka tahu hasil ukiran tangan dihargai tinggi antara Rp.
100 ribu hingga jutaan rupiah diluar Papua.
BAB III
SISTEM RELIGI DAN KEPERCAYAAN SUKU ASMAT
3.1 UNSUR-UNSUR DASAR RELIGI
Untuk mendeskripsi religi di antara ribuan kebudayaan di dunia, dan
khususnya di antara suku-suku bangsa di Indonesia yang jumlahnya
melebihi 600 suku bangsa, sesuai dengan kelima sub-unsur pokok yang
duajukan oleh E. Durkheim, dalam antropologi religi dibagi ke dalam
unsur-unsur, yaitu:
1. Emosi keagamaan (getaran jiwa) yang menyebabkan bahwa manusia didorong untuk berperilaku keagamaan.
2. Sistem kepercayaan atau bayangan-bayangan manusia tentang bentuk dunia, alam, alam gaib, hidup, maut, dan sebagainya.
3. Sistem ritus dan upacara keagamaan yang bertujuan mencari hubungan dngan dunia gaib berdasarkan system kepercayaan tersebut.
4. Kelompok keagamaan atau kesatuan-kesatuan social yang mengkonsepsikan dan mengaktifkan religi berikut system kepercayaannya.
5. Alat-alat fisik yang digunakan dalam ritus dan upacara keagamaan.
3.2 SISTEM KEYAKINAN
Dunia Di Luar Batas Akal Manusia. Setiap manusia sadar bahwa selain
dunia yang fana ini, ada suatu alam dunia yang tak tampak olehnya, dan
berada diluar batas akalnya. Dunia itu adalah dunia Supernatural, atau
dunia alam gaib. Berbagai kebudayaan menganut kepercayaan bahhwa dunia
gaib dihuni oleh berbagai makhluk dan kekuatan yang tak dapat dikuasai
oleh manusia dengan cara-cara biasa, dan karena itu dunia gaib pada
dasarnya ditakuti oleh manusia. Makhluk dan kekuatan yang menghuni dunia
gaib adalah:
1. Dewa-dewa yang baik maupun jahat.
2. Makhluk-makhluk halus lainnya, seperti halnya para ruh leluhur,
hantu, dan lain-lainnya, yang seperti halnya para dewa, juga ada yang
bersifat baik dan bersifat jahat.
3. Kekuatan sakti yang dapat bermanfaat bagi manusia maupun yang membawa bencana.
Dalam suatu sistem kepercayaan, orang membayangkan wujud dari dunia
gaib, termasuk wujud dari dewa-dewa (theogani), makhluk-makhluk halus,
kekuatan sakti, keadaan ruh-ruh manusia yang telah meninggal, maupun
wujud dari bumi dan alam semesta (yang disebut ilmu kosmogoni dan
kosmologi). Dalam agama-agama besar seperti Islam, Hindu, Budha, Jaina,
Katolik, Kristen, dan Yahudi, ada kalanya sifat-sifat Tuhan tertera
dalam kitab-kitab suci agama-agama tersebut, dan demikian sifat-sifat
Tuhan tersebut diserap pula dalam system kepercayaan dari agama-agama
yang bersangkutan, Sistem kepercayaan itu ada yang berupa konsepsi
mengenai paham-paham yang terbentuk dalam pikiran para individu penganut
suatu agama, tetapi dapat juga berupa konsepsi-konsepsi serta
paham-paham yang dibakukan di dalam dongeng-dongeng serta aturan-aturan.
Dongeng-dongeng dan aturan-aturan ini biasanya merupakan kesusastraan
suci yang dianggap keramat.
3.3 SISTEM KEPERCAYAAN SUKU ASMAT
Populasi suku Asmat terbagi dua yaitu mereka yang tinggal di pesisir
pantai dan mereka yang tinggal di bagian pedalaman. Kedua populasi ini
saling berbeda satu sama lain dalam hal cara hidup, struktur sosial, dan
ritual. Populasi pesisir pantai selanjutnya terbagi ke dalam dua bagian
yaitu Suku Bisman yang berada di antara Sungai Sinesty dan Sungai Nin
serta Suku Simai.
Ada banyak pertentangan di antara Desa Asmat, yang paling mengerikan
adalah cara yang dipakai Suku Asmat membunuh musuhnya. Ketika musuh
terbunuh, mayatnya dibawa ke kampung, kemudian dipotong dan dibagikan
kepada seluruh penduduk untuk memakan bersama. Mereka menyanyikan lagu
kematian dan memenggal kepalanya. Otaknya dibungkus daun sago dan
dipanggang kemudian dimakan.
Biasanya dalam satu kampung dihuni kira-kira 100 sampai 1000 orang.
Setiap kampung punya satu rumah bujang dan banyak rumah keluarga. Rumah
bujang dipakai untuk upacara adat dan upacara keagamaan. Rumah keluarga
dihuni oleh dua sampai tiga keluarga, yang mempunyai kamar mandi dan
dapur sendiri.
Adat istiadat suku Asmat mengakui dirinya sebagai anak dewa yang berasal
dari dunia mistik atau gaib yang lokasinya berada di mana mentari
tenggelam setiap sore hari. Mereka yakin bila nenek moyangnya pada jaman
dulu melakukan pendaratan di bumi di daerah pegunungan. Selain itu
orang suku Asmat juga percaya bila di wilayahnya terdapat tiga macam roh
yang masing-masing mempunyai sifat baik, jahat dan yang jahat namun
mati. Berdasarkan mitologi masyarakat Asmat berdiam di Teluk Flamingo,
dewa itu bernama Fumuripitis.
Orang Asmat yakin bahwa di lingkungan tempat tinggal manusia juga diam berbagai macam roh yang mereka bagi dalam 3 golongan.
1. Yi – ow atau roh nenek moyang yang bersifat baik terutama bagi keturunannya.
2. Osbopan atau roh jahat dianggap penghuni beberapa jenis tertentu.
3. Dambin – Ow atau roh jahat yang mati konyol.
Kehidupan orang Asmat banyak diisi oleh upacara-upacara. Upacara besar
menyangkut seluruh komuniti desa yang selalu berkaitan dengan
penghormatan roh nenek moyang seperti berikut ini :
a. Mbismbu (pembuat tiang)
b. Yentpokmbu (pembuatan dan pengukuhan rumah yew)
c. Tsyimbu (pembuatan dan pengukuhan perahu lesung)
d. Yamasy pokumbu (upacara perisai)
e. Mbipokumbu (Upacara Topeng)
Roh-roh dan Kekuatan Magis
a. Roh setan
Kehidupan orang-orang Asmat sangat terkait erat dengan alam sekitarnya.
Mereka memiliki kepercayaan bahawa alam ini didiami oleh roh-roh,
jin-jin, makhluk-makhluk halus, yang semuanya disebut dengan setan.
Setan ini digolongkan ke dalam 2 kategori :
1. Setan yang membahayakan hidup
Setan yang membahayakan hidup ini dipercaya oleh orang Asmat sebagai
setan yang dapat mengancam nyawa dan jiwa seseorang. Seperti setan
perempuan hamil yang telah meninggal atau setan yang hidup di pohon
beringin, roh yang membawa penyakit dan bencana (Osbopan).
2. Setan yang tidak membahayakan hidup
Setan dalam kategori ini dianggap oleh masyarakat Asmat sebagai setan
yang tidak membahayakan nyawa dan jiwa seseorang, hanya saja suka
menakut-nakuti dan mengganggu saja. Selain itu orang Asmat juga mengenal
roh yang sifatnya baik terutama bagi keturunannya., yaitu berasal dari
roh nenek moyang yang disebut sebagai yi-ow
b. Kekuatan magis dan Ilmu sihir
Orang Asmat juga percaya akan adanya kekuatan-kekuatan magis yang
kebanyakan adalah dalam bentuk tabu. Banyak hal -hal yang pantang
dilakukan dalam menjalankan kegiatan sehari-hari, seperti dalam hal
pengumpulan bahan makanan seperti sagu, penangkapan ikan, dan pemburuan
binatang.
Kekuatan magis ini juga dapat digunakan untuk menemukan barang yang
hilang, barang curian atau pun menunjukkan si pencuri barang tersebut.
Ada juga yang mempergunakan kekuatan magis ini untuk menguasai alam dan
mendatangkan angin, halilintar, hujan, dan topan.
Ritual/ Upacara
a. Ritual Kematian
Orang Asmat tidak mengenal dalam hal mengubur mayat orang yang telah
meninggal. Bagi mereka, kematian bukan hal yang alamiah. Bila seseorang
tidak mati dibunuh, maka mereka percaya bahwa orang tersebut mati karena
suatu sihir hitam yang kena padanya. Bayi yang baru lahir yang kemudian
mati pun dianggap hal yang biasa dan mereka tidak terlalu sedih karena
mereka percaya bahwa roh bayi itu ingin segera ke alam roh-roh.
Sebaliknya kematian orang dewasa mendatangkan duka cita yang amat
mendalam bagi masyarakat Asmat.
Suku Asmat percaya bahwa kematian yang datang kecuali pada usia yang
terlalu tua atau terlalu muda, adalah disebabkan oleh tindakan jahat,
baik dari kekuatan magis atau tindakan kekerasan. Kepercayaan mereka
mengharuskan pembalasan dendam untuk korban yang sudah meninggal. Roh
leluhur, kepada siapa mereka membaktikan diri, direpresentasikan dalam
ukiran kayu spektakuler di kano, tameng atau tiang kayu yang berukir
figur manusia. Sampai pada akhir abad 20an, para pemuda Asmat memenuhi
kewajiban dan pengabdian mereka terhadap sesama anggota, kepada leluhur
dan sekaligus membuktikan kejantanan dengan membawa kepala musuh mereka,
sementara bagian badannya di tawarkan untuk dimakan anggota keluarga
yang lain di desa tersebut.
Apabila ada orang tua yang sakit, maka keluarga terdekat berkumpul
mendekati si sakit sambil menangis sebab mereka percaya ajal akan
menjemputnya. Tidak ada usaha-usaha untuk mengobati atau memberi makan
kepada si sakit. Keluarga terdekat si sakit tidak berani mendekatinya
karena mereka percaya si sakit akan ´membawa´ salah seorang dari yang
dicintainya untuk menemani. Di sisi rumah dimana si sakit dibaringkan,
dibuatkan semacam pagar dari dahan pohon nipah. Ketika diketahui bahwa
si sakit meninggal maka ratapan dan tangisan menjadi-jadi. Keluarga
yang ditinggalkan segera berebut memeluk sis akit dan keluar rumah
mengguling-gulingkan tubuhnya di lumpur.
Sementara itu, orang-orang di sekitar rumah kematian telah menutup semua
lubang dan jalan masuk (kecuali jalan masuk utama) dengan maksud
menghalang-halangi masuknya roh-roh jahat yang berkeliaran pada saat
menjelang kematian. Orang-orang Asmat menunjukkan kesedihan dengan cara
menangis setiap hari sampai berbulan-bulan, melumuri tubuhnya dengan
lumpur dan mencukur habis rambutnya. Yang sudah menikah berjanji tidak
akan menikah lagi (meski nantinya juga akan menikah lagi) dan menutupi
kepala dan wajahnya dengan topi agar tidak menarik bagi orang lain.
Mayat orang yang telah meninggal biasa diletakkan di atas para (anyaman
bambu), yang telah disediakan di luar kampung dan dibiarkan sampai
busuk. Kelak, tulang belulangnya dikumpulkan dan disipan di atas
pokok-pokok kayu. Tengkorak kepala diambil dan dipergunakan sebagai
bantal petanda cinta kasih pada yang meninggal. Orang Asmat percaya
bahwa roh-roh orang yang telah meninggal tersebut (bi) masih tetap
berada di dalam kampung, terutama kalau orang itu diwujudkan dalam
bentuk patung mbis, yaitu patung kayu yangtingginya 5-8 meter. Cara lain
yaitu dengan meletakkan jenazah di perahu lesung panjang dengan
perbekalan seperti sagu dan ulat sagu untuk kemudian dilepas di sungai
dan seterusnya terbawa arus ke laut menuju peristirahatan terakhir
roh-roh.
Saat ini, dengan masuknya pengaruh dari luar, orang Asmat telah mengubur
jenazah dan beberapa barang milik pribadi yang meninggal. Umumnya,
jenazah laki-laki dikubur tanpa menggunakan pakaian, sedangkan jenazah
wanita dikubur dengan menggunakan pakaian. Orang Asmat juga tidak
memiliki pemakaman umum, maka jenazah biasanya dikubur di hutan, di
pinngir sungai atau semak-semak tanpa nisan. Dimana pun jenazah itu
dikubur, keluarga tetap dapat menemukan kuburannya.
b. Ritual Pembuatan dan Pengukuhan Perahu Lesung
Setiap 5 tahun sekali, masyarakat Asmat membuat perahu-perahu baru.Dalam
proses pembuatan prahu hingga selesai, ada berapa hal yang perlu
diperhatikan. Setelah pohon dipilih, ditebang, dikupas kulitnya dan
diruncingkan kedua ujungnya, batang itu telah siap untuk diangkut ke
pembuatan perahu. Sementara itu, tempat pegangan untuk menahan tali
penarik dan tali kendali sudah dipersiapkan. Pantangan yang harus
diperhatikan saat mengerjakan itu semua adalah tidak boleh membuat
banyak bunyi-bunyian di sekitar tempa itu. Masyarakat Asmat percaya
bahwa jika batang kayu itu diinjak sebelum ditarik ke air, maka batang
itu akan bertambah berat sehingga tidak dapat dipindahkan.
Untuk menarik batang kayu, si pemilik perahu meminta bantuan kepada
kerabatnya. Sebagian kecil akan mengemudi kayu di belakang dan
selebihnya menarik kayu itu. Sebelumnya diadakan suatu upacara khusus
yang dipimpin oleh seorang tua yang berpengaruh dalam masyarakat.
Maksudnya adalah agar perahu itu nantinya akan berjalan seimbang dan
lancar.
Perahu pun dicat dengan warna putih di bagian dalam dan di bagian luar
berwarna merah berseling putih. Perahu juga diberi ukiran yang berbentuk
keluarga yang telah meninggal atau berbentuk burung dan binatang
lainnya.Setelah dicat, perahu dihias dengan daun sagu. Sebelum
dipergunakan, semua perahu diresmikan terlebih dahulu. Para pemilik
perahu baru bersama dengan perahu masing-masing berkumpul di rumah orang
yang paling berpengaruh di kampung tempat diadakannya pesta sambil
mendengarkan nyanyi -nyanyian dan penabuhan tifa. Kemudian kembali ke
rumah masing-masing untuk mempersiapkan diri dalam perlombaan perahu.
Para pendayung menghias diri dengan cat berwarna putih dan merah
disertai bulu-bulu burung. Kaum anak-anak dan wanita bersorak-sorai
memberikan semangat dan memeriahkan suasana. Namun, ada juga yang
menangis mengenang saudaranya yang telah meninggal.
Dulu, pembuatan perahu dilaksanakan dalam rangka persiapan suatu
penyerangan dan pengayauan kepala. Bila telah selesai, perahu -perahu
ini dicoba menuju tempat musuh dengan maksud memanas -manasi mereka dan
memancing suasana musuh agar siap berperang. Sekarang, penggunaan perahu
lebih terarahkan untuk pengangkutan bahan makanan.
c. Upacara Bis
Upacara bis merupakan salah satu kejadian penting di dalam kehidupan
suku Asmat sebab berhubungan dengan pengukiran patung leluhur (bis)
apabila ada permintaan dalam suatu keluarga. Dulu, upacara bis ini
diadakan untuk memperingati anggota keluarga yang telah mati terbunuh,
dan kematian itu harus segera dibalas dengan membunuh anggota keluarga
dari pihak yang membunuh.
Untuk membuat patung leleuhur atau saudara yang telah meninggal
diperlukan kurang lebih 6-8 minggu. Pengukiran patung dikerjakan di
dalam rumah panjang (bujang) dan selama pembuatan patung berlangsung,
kaum wanita tidak diperbolehkan memasuki rumah tersebut.
Dalam masa-masa pembuatan patung bis, biasanya terjadi tukar-menukar
istri yang disebut dengan papis. Tindakan ini bermaksud untuk mempererat
hubungan persahabatan yang sangat diperlukan pada saat tertentu,
seperti peperangan. Pemilihan pasangan terjadi pada waktu upacara
perang-perangan antara wanita dan pria yang diadakan tiap sore.
Upacara perang-perangan ini bermaksud untuk mengusir roh-roh jahat dan
pada waktu ini, wanita berkesempatan untuk memukul pria yang dibencinya
atau pernah menyakiti hatinya. Sekarang ini, karena peperangan antar
clan sudah tidak ada lagi, maka upacara bis ini baru dilakukan bila
terjadi mala petaka di kampung atau apabila hasil pengumpulan bahan
makanan tidak mencukupi. Menurut kepercayaan, hal ini disebabkan roh-roh
keluarga yang telah meninggal yang belum diantar ketempat
perisitirahatan terakhir, yaitu sebuah pulau di muara sungai Sirets.
Patung bis menggambarkna rupa dari anggota keluarga yang telah
meninggal. Yang satu berdiri di atas bahu yang lain bersusun dan paling
utama berada di puncak bis. Setelah itu diberikan warna dan diberikan
hiasan-hiasan.Usai didandani, patung bis ini diletakkan di atas suatu
panggung yang dibangun dirumah panjang. Pada saat itu, keluarga yang
ditinggalkan akan mengatakan bahwa pembalasan dendam telah dilaksanakan
dan mereka mengharapkan agar roh-roh yang telah meninggal itu berangkat
ke pulau Sirets dengan tenang. Mereka juga memohon agar keluarga yang
ditinggalkan tidak diganggu dan diberikan kesuburan. Biasanya, patung
bis ini kemudian ditaruh dan ditegakkan di daerah sagu hingga rusak.
d. Upacara pengukuhan dan pembuatan rumah bujang (yentpokmbu)
Orang-orang Asmat mempunyai 2 tipe rumah, yaitu rumah keluarga dan rumah
bujang (je). Rumah bujang inilah yang amat penting bagi orang-orang
Asmat. Rumah bujang ini dinamakan sesuai nama marga (keluarga)
pemiliknya.
Rumah bujang merupakan pusat kegiatan baik yang bersifat religius maupun
yang bersifat nonreligius. Suatu keluarga dapat tinggal di sana, namun
apabila ada suatu penyerangan yang akan direncanakan atau
upacara-upacara tertentu, wanita dan anak-anak dilarang masuk.
Orang-orang Asmat melakukan upacara khusus untuk rumah bujang yang baru,
yang dihadiri oleh keluarga dan kerabat. Pembuatan rumah bujang juga
diikuti oleh beberapa orang dan upacara dilakukan dengan tari-tarian dan
penabuhan tifa.
Seni dan Kepercayaan
Sistem religi dan kepercayaan suku Asmat mempunyai hubungan yang sangat
erat dengan sistem keseniannya. Penduduk Asmat sangat piawai membuat
ukiran. Ukiran bagi Suku Asmat bisa menjadi penghubung antara kehidupan
masa kini dengan kehidupan leluhur. Di setiap ukiran bersemayam citra
dan penghargaan atas nenek moyang mereka yang sarat dengan kebesaran
Suku Asmat. Sehingga pada masing-masing ukiran hasil karya suku Asmat
selalu mengandung pesan untuk menghargai nenek moyangnya yang
disampaikan secara tersirat lewat simbol-simbol motif dalam ukiran
tersebut.
Patung dan ukiran umumnya mereka buat tanpa sketsa. Bagi Suku Asmat, di
saat mengukir patung adalah saat di mana mereka berkomunikasi dengan
leluhur yang ada di alam lain. Hal itu dimungkinkan karena mereka
mengenal tiga konsep dunia: Amat ow capinmi (alam kehidupan sekarang),
Dampu ow campinmi (alam pesinggahan roh yang sudah meninggal), dan Safar
(surga).
Suku ini percaya bahwa sebelum memasuki surga, arwah orang yang sudah
meninggal akan mengganggu manusia. Gangguan bisa berupa penyakit,
bencana, bahkan peperangan. Maka, demi menyelamatkan manusia serta
menebus arwah, mereka yang masih hidup membuat patung dan menggelar
pesta seperti pesta patung bis (Bioskokombi), pesta topeng, pesta
perahu, dan pesta ulat-ulat sagu. Konon patung bis adalah bentuk patung
yang paling sakral.
Ukiran asmat mempunyai empat makna dan fungsi, masing-masing:
1. Melambangkan kehadiran roh nenek moyang;
2. Untuk menyatakan rasa sedih dan bahagia;
3. Sebagai suatu lambang kepercayaan dengan motif manusia, hewan, tetumbuhan dan benda-benda lain;
4. Sebagai lambang keindahan dan gambaran ingatan kepada nenek moyang.
BAB IV
PENUTUP
4.1 KESIMPULAN
Suku Asmat adalah salah satu suku dari kurang lebih 600 suku bangsa yang
berada di Indonesia. Suku Asmat adalah sebuah suku di Papua, yang
sangat dikenal dengan hasil karya kayunya yang unik. Dalam segi
kebudayaan, kesenian, kepercayaan, suku Asmat termasuk suku yang masih
orisinil dan terjaga keaslian tradisinya dari zaman nenek moyang mereka,
dibandingkan dengan suku-suku lainnya di Indonesia yang telah banyak
terpengaruh budaya-budaya luar.
Kepercayaan yang dianut masyarakat Asmat juga sangat unik, mereka
menganut paham animisme yang menganggap bahwa alam sekeliling tempat
tinggal manusia dihuni oleh berbagai macam ruh, dan mereka memuja
ruh-ruh tersebut. Banyak adat istiadat yang dilakukan yang merupakan
unsur-unsur dari sistim kepercayaan mereka. Jadi sebenarnya kebudayaan,
kesenian dan sistem kekerabatan yang ada dimasyarakat ini berawal dari
sistem kepercayaan yang mereka anut. Karena semuanya merupakan penerapan
dari sistem kepercayaan suku Asmat sendiri.
4.2 SARAN
Perlu dipikirkan bagaimana menjaga dan melestarikan kebudayaan,
kesenian, dan sistem kepercayaan suku Asmat. Karena segala yang dimiliki
oleh orang Asmat merupakan bagian dari kebudayaan bangsa Indonesia ini.
Dengan begitu suku Asmat tetap terjaga keberadaannya dan tetap menjadi
kesatuan dari bangsa Indonesia.
Karena keterbatasan pengetahuan saya tentang suku Asmat, terlebih
tentang kepercayaannya dan kurangnya pemahaman saya dalam penulisan
suatu karya tulis, menjadikan saya mengalami sedikit kesulitan dalam
menyelesaikan makalah ini. Tapi itu semua menjadi motivasi saya untuk
menjadi lebih baik lagi selanjutnya.
4.3 DAFTAR PUSTAKA
• Koentjaraningrat (1998) Pokok-pokok Etnografi. Jakarta: Rineka Cipta
• Koentjaraningrat (1980) Sejarah Teori Antropologi. Jakarta: UI Press
• Sudarman, Dea (1993) Menyingkap Budaya Suku Pedalaman Irian Jaya. Jakarta: Delata Pamungkas
• http;//www.scribd.com/Suku_Asmat/5-11-2011
• http;//www.ksupointer.com/Suku_Asmat_Sosok_Budaya_Indonesia_diPapua/5-11-2011
• http;//www.lestariweb.com/Indonesia/Papua_People_Asmat/5-11-2011
0 komentar